Komunitas Blogger Bekasi

Spiritual learning concept

Senin, 08 Maret 2010 , Posted by saeful uyun at 17.25

Saya mendapat sepucuk surat dari seseorang yang diantar oleh sahabat saya, Pak Joko Mumpuni, Direktur Penerbitan Andi Yogyakarta. Setelah saya buka, surat tersebut ternyata dari Pemilik Penerbitan Andi, Pak Gondowijoyo. ”Pak Yanto, jangan bosan-bosan yah kalau saya memberi masukan lagi, sebab saya sangat tertarik tulisan dan pembahasan oleh Bapak di koran KR setiap hari Sabtu itu. Disamping itu saya sangat prihatin sekali akan keadaan mental, moral budaya dan integritas sebagian besar para pemuda, para pemimpin di Indonesia ini. Selama 36 tahun saya ikut sedikit terlibat dalam pendidikan, kok kemajuannya masih kurang bagus, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita” demikian tulis Pak Gondo dalam membuka tulisan tersebut.

Memang benar, pendidikan di negara-negara tetangga kita lebih maju, tetapi kita juga mulai menapak menuju kemajuan yang diharapkan negara maju. Kita harus belajar kerja keras dari negara maju. Globalisasi sarana negara maju untuk saling mempererat persaudaraan, saling membagi keahlian, saling mensinergikan pengetahuan dan saling memberdayakan sumberdaya alam. Pada kenyataannya negara maju tidak saling bersaudara, tetapi saling membunuh dalam dunia bisnis yang biasa disebut persaingan. Negara maju tidak saling membagi pengetahuan, tetapi negara berkembang harus membeli dengan harga yang sangat mahal dan negara maju melindunginya dengan hak paten sehingga negara berkembang tidak mampu membelinya. Globalisasi memandang dunia sebagai pasar yang dapat diperjualbelikan, bahkan dapat dibeli secara angsuran. Negara maju membeli secara angsuran, bahkan dapat dibayar 20 tahun kemudian terhadap sumberdaya alam yang dimiliki negara berkembang. Dibayar setelah sumberdaya alam di negara berkembang itu hampir habis. Jika tidak mau, maka negara berkembang ditekan dan kalau perlu diintervensi dengan menggerakkan militer besar-besaran, seperti kisah Afganistan dan Irak. Negara maju juga menularkan semangat individualisme yang membuat peningkatan keluarga. Perceraian lebih menonjol justru terjadi pada kelompok yang mempunyai penghasilan tinggi, para selebritis, bukan orang-orang kecil. Keretakan keluarga semakin menjadi-jadi. Dalam hal yang menyangkut keluarga, barangkali harus belajar kepada orang-orang kecil.
Kemudian Pak Gondo melanjutkan tulisannya dengan mengisahkan tentang seorang Bapak yang mempunyai cinta,moral dan integritas yang dapat kita pakai sebagai salah satu dasar pendidikan di negeri kita. “Di usianya yang senja, seorang Bapak yang berusia 58 tahun, mengisi hari-harinya dengan merawat istrinya yang sakit. Mereka sudah menikah 32 th dan dikaruniai 4 orang anak. Setelah melahirkan si bungsu, kaki istrinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan lagi. Memasuki tahun ketiga seluruh tubuhnya semakin lemah, bahkan lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi. Setiap hari Sang Bapak, memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat isterinya keatas tempat tidur. Biasanya sebelum berangkat kerja, dia membopong isterinya ke depan TV supaya bisa menikmati acara televisi. Walau tak dapat berbicara, tetapi isterinya selalu berusaha tersenyum. Pekerjaan Bapak berputra empat tersebut yang tak jauh dari rumahnya, memungkinkan dia pulang pada jam makan siang untuk menyuapi isterinya. Pada waktu sore, ia memandikan isterinya dan menghbiskan sisa waktu sampai menjelang tidur, sembari menceritakan apa saja yang dia alami sepanjang hari. Isterinya hanya bisa memandanginya tanpa bisa memberi komentar”. Itulah cinta sejati yang perlu kita tiru, cinta yang merupakan pengabdian kepada Tuhan yang Maha Cinta kepada makhluknya.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar